Hari
ini status di media sosial langganan saya ada dua headlines. Yang satu headline
serius, yang satu lagi headline cemen.
Headline yang serius itu mengenai
kasus pelecehan seksual yang menimpa anak laki-laki umur 5 tahun di sebuah
sekolah internasional. Well, nanti
saya juga akan menulis tentang itu. Tapi kali ini saya menulis headline yang cemen aja dulu.
Jadi
headline yang saya bilang cemen itu
adalah status Facebook dan tweet di Twitter yang berisi keluhan lega **lega kok mengeluh?** karena UN sudah berakhir.
UN bukan United Nation, tetapi Ujian
Nasional. Wah, ketahuan kalo saya banyak bergaul sama brondong-brondong. Nggak
apa-apa dong.
Wajar
dong lega, secara selama tiga hari berturut-turut ini mereka juga kayak bayi
macan mengerang-ngerang curhat, besok mau ujian apa, tetapi malam ini belum
belajar apa. Anehnya, daripada belajar, adik-adik kinyis itu malah sibuk curhat
di media sosial. Dikira besok akan muncul pertanyaan di soal UN : “apa bunyi tweet yang muncul di timeline kamu
pas jam sekian”. Atau mungkin, “apa
status Facebook Si Sudrun yang terakhir kamu komentarin”. Atau, “bagaimana pendapat kamu mengenai perilaku
Dinda Anak Alay Pelit Kursi Ibu Hami di Path”.
Ngomong-ngomong
soal UN, saya juga pernah mengalami. Jelek-jelek begini kan saya juga dulu
rayap. Rayap maksudnya makan bangku sekolahan. Nggak beneran makan bangku dong,
itu cuma pengandaian. Penting ya yang begini-begini di jelasin juga?
Zaman
dahulu kala **busyet, serasa jadi anak sekolah
zaman Dinosaurus masih seliweran** istilahnya bukan UN, tetapi Ebtanas.
Tetapi secara teknis dan pelaksanaannya sama. Dulu Ebtanas juga menjadi syarat
kelulusan. Tetapi meski begitu, saya dan teman-teman seperjuangan dulu nggak
sampai se-stress itu deh. Belajar sih belajar, tetapi nggak sampai
terpipis-pipis. Padahal dulu ujiannya
lebih galak. Eh, sebenernya nggak fair
kalo membandingkan UN zaman sekarang dengan Ebtanas zaman dulu. Kalu UN
sekarang kan sudah serba terkomputerisasi, ngitemin lembar soal pake pensil 2B,
konon katanya yang meriksa lembar jawaban juga mesin. Kalau zaman Ebtanas dulu,
kita nggak butuh sama yang namanya pensil 2B. Kalo emang butuh pensil, itu
adalah pensil alis. Biasanya, anak-anak zaman dulu kayaknya terobsesi banget
pengen punya alis tebal ngikutin Zach Efron. Lha, emang zaman dulu Zac Efron
sudah lahir?
Jadi
kita pergi ujian modalnya cuma pulpen warna hitam atau biru. Lembar jawabannya
juga tinggal nyontreng, mau nyontreng dengan tanda x atau checklist
terserah, dua-duanya boleh. Mimpi buruknya adalah tidak semua soal pertanyaanya
berbentuk multiple choice atau
pilihan berganda. Pilihan berganda itu dulu surga banget lho. Kalo jawaban kita
benar, maka kita dapat score 4. Kalo
jawaban kita salah, nggak dapat score **ya iyalah,
gila loe!**, juga nggak dapat hukuman minus berapa angka gitu kayak di
UMPTN. Makanya guru biasanya ngingetin
supaya lembar jawaban kita diusahakan terisi semua. Kalo emang nggak tau
jawabannya, tebak-tebak buah manggis saja, atau nyanyi bas bis bus pisang rebus dengan mata tertutup sambil nunjuk ke
empat pilihan jawaban satu persatu. Pas pada jawaban mana lagu berakhir, maka
pilihlah jawaban yang itu.
Makanya
nggak heran, kalo udah mendekati menit-menit terakhir pengumpulan lembar ujian,
dari barisan belakang udah mulai terdengar beberapa siswa bernyanyi sambil
sembunyi-sembunyi. Itu artinya dia sudah frustasi sehingga memilih menentukan pilihan jawaban
dengan bernyanyi bas bis bus pisang rebus
atau bang bang tut.
Bukannya
bermaksud sombong lho ya, tetapi saya dulu tidak pernah nyontek saat Ebtanas.
Bukan karena pinter atau play it fair, tetapi karena paranoid. Soalnya ada ancaman dari pihak pengawas ujian, jika
ketahuan nyontek, maka lembar jawabannya akan diambil saat itu juga dan
langsung dapat vonis tidak lulus. Padahal itu cuma gertak sambal aja, tetapi
aja bikin saya keder. Gila aja udah berkutat selama tiga tahun dengan dua mata
pelajaran terkutuk sedunia : Fisika dan Kimia, akhirnya sia-sia hanya karena
kepergok nyontek.
Yang
seru tuh pas hari terakhir. Udah tradisi yang namanya corat-coret seragam
sekolah pakai spidol dan pilox. Pede banget memang, padahal belum tentu lulus
juga. Pada saat-saat seperti ini, yang cewek-cewek biasanya jadi royal kasih
badan. Maksudnya, dia pasrah aja badannya dipegang-pegang saat sessi tanda tangan di seragam. Makanya
yang cowok-cowok pada rebutan pengen bubuhin tanda tangan di dada dan di bokong
saja supaya bisa sekalian modus pegang-pegang dan pencet-pencet.
Abis
corat-coretan, biasanya pawai tertib dulu sepanjang jalan raya. Namanya juga
masih alay, bangga dan senang aja gitu bergerombol dengan seragam yang sudah
nggak karuan warnanya dan jadi pusat perhatian. Abis itu ya pulang ke rumah
masing-masing. Mau tidur gila, udah lelah otak dan body selama tiga hari ujian.
Kalo anak-anak zaman sekarang kan abis coret-coretan biasanya konvoi
kebut-kebutan naik motor dengan suara knalpot mirip terompet neraka, lalu panen hujatan, cacian dan kutukan.
Semua
zaman memang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tetapi kalo
disuruh milih mau hidup di zaman kapan, tetap saya pilih tahun sembilan
puluhan. 90s never dies...
0 komentar:
Posting Komentar