17/04/14

Dulu EBTANAS, Sekarang UN



Hari ini status di media sosial langganan saya ada dua headlines. Yang satu headline serius, yang satu lagi headline cemen. Headline yang serius itu mengenai kasus pelecehan seksual yang menimpa anak laki-laki umur 5 tahun di sebuah sekolah internasional. Well, nanti saya juga akan menulis tentang itu. Tapi kali ini saya menulis headline yang cemen aja dulu.

Jadi headline yang saya bilang cemen itu adalah status Facebook dan tweet di Twitter yang berisi keluhan lega **lega kok mengeluh?** karena UN sudah berakhir. UN bukan United Nation, tetapi Ujian Nasional. Wah, ketahuan kalo saya banyak bergaul sama brondong-brondong. Nggak apa-apa dong.

Wajar dong lega, secara selama tiga hari berturut-turut ini mereka juga kayak bayi macan mengerang-ngerang curhat, besok mau ujian apa, tetapi malam ini belum belajar apa. Anehnya, daripada belajar, adik-adik kinyis itu malah sibuk curhat di media sosial. Dikira besok akan muncul pertanyaan di soal UN : “apa bunyi tweet yang muncul di timeline kamu pas jam sekian”. Atau mungkin, “apa status Facebook Si Sudrun yang terakhir kamu komentarin”. Atau, “bagaimana pendapat kamu mengenai perilaku Dinda Anak Alay Pelit Kursi Ibu Hami di Path”.

Ngomong-ngomong soal UN, saya juga pernah mengalami. Jelek-jelek begini kan saya juga dulu rayap. Rayap maksudnya makan bangku sekolahan. Nggak beneran makan bangku dong, itu cuma pengandaian. Penting ya yang begini-begini di jelasin juga?

Zaman dahulu kala **busyet, serasa jadi anak sekolah zaman Dinosaurus masih seliweran** istilahnya bukan UN, tetapi Ebtanas. Tetapi secara teknis dan pelaksanaannya sama. Dulu Ebtanas juga menjadi syarat kelulusan. Tetapi meski begitu, saya dan teman-teman seperjuangan dulu nggak sampai se-stress itu deh. Belajar sih belajar, tetapi nggak sampai terpipis-pipis.  Padahal dulu ujiannya lebih galak. Eh, sebenernya nggak fair kalo membandingkan UN zaman sekarang dengan Ebtanas zaman dulu. Kalu UN sekarang kan sudah serba terkomputerisasi, ngitemin lembar soal pake pensil 2B, konon katanya yang meriksa lembar jawaban juga mesin. Kalau zaman Ebtanas dulu, kita nggak butuh sama yang namanya pensil 2B. Kalo emang butuh pensil, itu adalah pensil alis. Biasanya, anak-anak zaman dulu kayaknya terobsesi banget pengen punya alis tebal ngikutin Zach Efron. Lha, emang zaman dulu Zac Efron sudah lahir?

Jadi kita pergi ujian modalnya cuma pulpen warna hitam atau biru. Lembar jawabannya juga tinggal nyontreng, mau nyontreng dengan tanda x atau checklist terserah, dua-duanya boleh. Mimpi buruknya adalah tidak semua soal pertanyaanya berbentuk multiple choice atau pilihan berganda. Pilihan berganda itu dulu surga banget lho. Kalo jawaban kita benar, maka kita dapat score 4. Kalo jawaban kita salah, nggak dapat score **ya iyalah, gila loe!**, juga nggak dapat hukuman minus berapa angka gitu kayak di UMPTN. Makanya guru biasanya ngingetin  supaya lembar jawaban kita diusahakan terisi semua. Kalo emang nggak tau jawabannya, tebak-tebak buah manggis saja, atau nyanyi bas bis bus pisang rebus dengan mata tertutup sambil nunjuk ke empat pilihan jawaban satu persatu. Pas pada jawaban mana lagu berakhir, maka pilihlah jawaban yang itu.

Makanya nggak heran, kalo udah mendekati menit-menit terakhir pengumpulan lembar ujian, dari barisan belakang udah mulai terdengar beberapa siswa bernyanyi sambil sembunyi-sembunyi. Itu artinya dia sudah frustasi  sehingga memilih menentukan pilihan jawaban dengan bernyanyi bas bis bus pisang rebus atau bang bang tut.

Bukannya bermaksud sombong lho ya, tetapi saya dulu tidak pernah nyontek saat Ebtanas. Bukan karena pinter atau play it  fair, tetapi karena paranoid. Soalnya ada ancaman dari pihak pengawas ujian, jika ketahuan nyontek, maka lembar jawabannya akan diambil saat itu juga dan langsung dapat vonis tidak lulus. Padahal itu cuma gertak sambal aja, tetapi aja bikin saya keder. Gila aja udah berkutat selama tiga tahun dengan dua mata pelajaran terkutuk sedunia : Fisika dan Kimia, akhirnya sia-sia hanya karena kepergok nyontek.

Yang seru tuh pas hari terakhir. Udah tradisi yang namanya corat-coret seragam sekolah pakai spidol dan pilox. Pede banget memang, padahal belum tentu lulus juga. Pada saat-saat seperti ini, yang cewek-cewek biasanya jadi royal kasih badan. Maksudnya, dia pasrah aja badannya dipegang-pegang saat sessi tanda tangan di seragam. Makanya yang cowok-cowok pada rebutan pengen bubuhin tanda tangan di dada dan di bokong saja supaya bisa sekalian modus pegang-pegang dan pencet-pencet.

Abis corat-coretan, biasanya pawai tertib dulu sepanjang jalan raya. Namanya juga masih alay, bangga dan senang aja gitu bergerombol dengan seragam yang sudah nggak karuan warnanya dan jadi pusat perhatian. Abis itu ya pulang ke rumah masing-masing. Mau tidur gila, udah lelah otak dan body selama tiga hari ujian. Kalo anak-anak zaman sekarang kan abis coret-coretan biasanya konvoi kebut-kebutan naik motor dengan suara knalpot mirip terompet neraka, lalu  panen hujatan, cacian dan kutukan.

Semua zaman memang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tetapi kalo disuruh milih mau hidup di zaman kapan, tetap saya pilih tahun sembilan puluhan. 90s never dies...
Share:

0 komentar:

Posting Komentar