Sejak
kecil saya terbiasa baca buku terjemahan karya penulis asing, mulai dari
dongeng a la Hans Christian Anderson, Grimm
Brothers, novel Alfred Hitchcock
dan Enyd Blyton. Satunya penulis
Indonesia yang sangat saya sukai dan kagumi karyanya adalah Hilman Hariwidjaya dengan novel Lupus-nya.
Buat
saya pribadi, saya punya standar mutlak mengenai bacaan wajib dan favorit saya.
Tak peduli ceritanya tentang apa, mau sedih kek,
drama kek, tragedi kek, petualangan kek, yang penting HARUS LUCU.
Misalnya
salah satu novel favorit saya My Place
karya Sally Morgan. Alur ceritanya
sebenarnya sedikit dark, mengenai
kehidupan keluarga keturunan Aborigin
di Australia. Sebagai warga minoritas, yang nama perlakuan diskriminasi dan karakter
rendah diri tentu saja bukan sesuatu yang lucu. Tetapi entah kenapa, Sally
selalu bisa menemukan sebuah jalinan cerita, dialog, dan setting adegan yang mungkin tidak disengaja lucu, tapi karena
penuturan dan penggambarannya jujur dan apa adanya, akhirnya jadi lucu karena
kita langsung membayangkan di dalam kepala kita visualisasinya seperti apa.
Atau karena kita membayangkan seandainya kita mendengar dialog seperti itu
dalam kehidupan kita sehari-hari, namun dalam situasi berbeda, jadinya malah absurd dan lucu. Humor seperti inilah
yang selalu saya mau. Humor yang pada dasarnya tidak bertujuan untuk melucu,
tetapi justru itu yang menjadi lucu.
Dari
kecil sampai dewasa, saya lebih memilih bacaan fiksi. Kalau non fiksi sih malas
banget, karena saya kadang mikir ngapain sih baca pengalaman orang? Sok iya
banget cerita pengalaman yang belum tentu lebih oke dari pengalaman kita. Apa
serunya baca cerita yang sudah bisa diprediksi akhirnya seperti apa. Biasalah, typical buku self
improvement , bersakit-sakit dahulu, lalu ada secercah cahaya di ujung
lorong gelap, kemudian menikah dengan pangeran baik hati dan hidup bahagia
selamanya di kastil di atas bukit.
Pertama
kali kenal buku The Naked Traveler
karya Trinity, justru saya sempat
skeptis. Bukunya milik abang saya yang saya temukan waktu saya inspeksi
kamarnya saat doski keluar rumah. Saya menemukannya di atas tempat tidurnya. Sumpah deh Abah, cover bukunya sangat tidak menarik
(menurut selera pribadi saya lho). Pertama kali lihat, saya malah sempat
berpikir ini buku tentang proyek pertambangan. Karena visualisasi pada cover-nya yang biru nugget kayak peta bawah tanah, lengkap dengan jalur-jalur yang harus
dilalui truk pengangkut berlian. Design-nya
juga super minimalis, ditambah lagi pilihan font
yang mirip font hasil produksi
komputer zaman program lotus dan dos yang disketnya segede piring itu. Hadeuhh...malasnya abang lihat buku
seperti ini. Ini yang bikin buku niat nggak sih sebenernya bikin buku?
Hampir saja tuh buku saya lempar keluar
jendela, tetapi tiba-tiba tulisan ‘naked’-nya menggugah birahi saya. Harap
maklum, namanya juga cowok. Naked?
Asyik nih! Trus, nama penulisnya ‘Trinity’.
Ini cowok atau cewek ya? Kalau tebak-tebak buah manggis sih kayaknya cewek. Asyik
nih! Tapi kan kemarin di MTV ada juga boyband yang bernama Trinity? Mulai nggak
asyik nih!
Daripada
berspekulasi soal jenis kelamin penulisnya, saya
langsung buka saja lembar demi lembar sambil berharap menemukan gambar
vulgar sesuai dengan judul bukunya. Ngeliatnya juga sambil sreeeeeeettt gitu. Tau kan maksud saya, bagaimana kita kalau sedang
mencari uang kertas yang kita selipkan di dalam buku. Ada sih beberapa gambar
ilutrasi dengan gaya kartun, tapi yang begitu mana bisa bikin nafsu, Tante?
Akhirnya
saya mengubah strategi. Switch to plan B.
Saya mencari lewat lembar Daftar Isi. Saya mencari judul-judul yang kira-kira ‘menjurus’
dan provokatif.
“Ketemu
Malaikat di Airport”. Hmmm, petugas airport
tax kali maksudnya. Yang begitu dibilang malaikat. Cih!
“Pilih
Makan Rendang atau KKN”. Busyet, mbok ya kalau bikin pilihan tuh apple to banana. “Kumbang, Pantat dan
Kentut”. Hmmm, sepertinya menjanjikan. Tapi kok agak jorok dan tidak sopan ya?
“Mengangkang
di Kepala Porter”. Haaaaa! Kata kunci ‘ngangkang’.
Ngangkang di kepala pula, saya langsung membayangkan yang tidak-tidak. Enak nih! Dan ya, akhirnya saya memutuskan untuk
membaca bab ini terlebih dahulu. Hahaha, ngangkang di kepala? Sedap, mas bro!!!!
Begitu
saya buku bab yang letaknya tepat di halaman 68 itu, saya langsung kaget (dan
diam-diam kecewa). Kok ilustrasinya gambar opelet-nya si Doel, ada dua babi
nangkring di atas dan seekor bebek gelantungan di jendela. Tetapi saya berpikir
positif, mungkin ini kamuflase untuk mengecoh lembaga sensor. Dan mulailah saya membaca sambil mempersiapkan
diri menemukan kalimat yang tidak-tidak dan penuh kode rahasia. Lokasi ceritanya di beberapa kota
negara Asia. Berarti selera Asia, yang kebetulan selera gue banget. Lanjut, mas
bro!
Tapi
sampai habis bab ini saya baca, kok ya nggak ada cerita yang saya harapkan.
Emang sih beneran ada yang ngangkang, yaitu saat penulisnya turun dari kapal di
garis pantai. Jadi jika tidak mau basah, maka harus mau diangkut oleh porter khusus
tukang angkut manusia sampai ke darat. Pilihan gaya angkutnya ditentukan
sendiri oleh pengguna jasa sesuai posisi favoritnya, biasa diangkut dengan gaya ‘monyet Tarzan nangkring
di bahu Tarzan’, atau duduk ngangkang di bagian belakang leher si pengangkut.
Busyet, bagian yang ‘itu’ kena ke tengkuk doski dong. Bukan cuma kena lagi
kayaknya, tetapi nempel. Huahahahaha, saya langsung ngakak membayangkannya.
Seru nih!
Memang
sih, tidak seperti yang saya harapkan, tetapi yang begini-begini juga selera
saya banget : sesuatu yang sebenarnya tidak bertujuan lucu, tetapi justru lucu
banget. Kan saya sudah ngomong begini di awal tadi. Habis baca bab ini saya kok
tiba-tiba merasa lahir baru alias terlahir kembali. Hallah, lebay! Pokoknya
habis baca bab ini, saya seperti mendapat sesuatu. Sesuatu yang berbentuk ilmu.
Ilmu yang disampaikan dalam bentuk narasi. Narasi yang tulis dalam bahaya yang
ringan. Ringan sehingga mudah dicerna. Mudah dicerna sehingga gampang masuk ke
otak. Otak yang...STOP!!! Mau sampai kapan bikin rangkaian kalimat berantai
seperti ini?
Ya
sudah deh, saya langsung balik kanan kembali ke halaman awal buku. Saking excited-nya, lembar Kata Pengantar ‘Naked Intro’-pun saya baca. Kata
Pengantar-nya saja bisa membuat saya tertohok.
“Traveling tidak hanya sekedar foto-foto dan berbelanja di tempat wisata, juga bukan hanya ke luar negeri atau kota-kota besar yang banyak Mall”
“Traveling tidak hanya sekedar foto-foto dan berbelanja di tempat wisata, juga bukan hanya ke luar negeri atau kota-kota besar yang banyak Mall”
Nah
lho, selama ini saya tidak suka traveling karena dalam bayangan saya traveling
itu ya seperti itu. Seperti itu gimana maksud loe? Ya seperti itu. Seperti gimana? Ya seperti itu : berangkat,
sampai di tujuan, belanja-belinji sampe jereng, jalan-jalan di tempat wisata
sampai puyeng, trus pulang. Apa serunya, kakak?
Ternyata The Naked Traveler membuka mata dan pikiran saya, tetapi tidak baju saya. Ada banyak hal-hal yang jauh lebih menarik dan penting banget untuk diketahui daripada sekedar menikmati pemandangan wisata dan beli souvenir. Hal-hal yang justru lebih bermanfaat bukan hanya untuk fisik, tetapi juga mental. Apakah itu, kakak? Itu adalah kisah-kisah pra, during dan pasca traveling. Mulai dari booking tiket, karena ternyata booking tiket juga punya cerita tersendiri. Lalu menghadapi berbagai macam karakter orang saat ngurus visa. Beradaptasi dengan budaya negeri orang dengan segala kisruh bahasa, culture shock dan isu rasis. Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya...seperti lagunya Ikko Si Ratu OK.
Ternyata The Naked Traveler membuka mata dan pikiran saya, tetapi tidak baju saya. Ada banyak hal-hal yang jauh lebih menarik dan penting banget untuk diketahui daripada sekedar menikmati pemandangan wisata dan beli souvenir. Hal-hal yang justru lebih bermanfaat bukan hanya untuk fisik, tetapi juga mental. Apakah itu, kakak? Itu adalah kisah-kisah pra, during dan pasca traveling. Mulai dari booking tiket, karena ternyata booking tiket juga punya cerita tersendiri. Lalu menghadapi berbagai macam karakter orang saat ngurus visa. Beradaptasi dengan budaya negeri orang dengan segala kisruh bahasa, culture shock dan isu rasis. Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya...seperti lagunya Ikko Si Ratu OK.
Membaca
bab demi bab buku The Naked Traveler
membuat saya lupa diri sehingga lengah dan tidak menyadari bahaya yang mengintai sedari tadi. Ketika saya sampai pada bab “Kuping Babi, Embrio Bebek
atau Kecoa?”, tiba-tiba sebuah bayangan hitam tinggi besar menutupi arah
datangnya cahaya. Saya menengadah. Duarrrrrrr!!!!!!
Ternyata abang saya sudah berdiri di pintu kamarnya, berdiri sambil
berkacak pinggang. Mayday, mayday! Tombol panik langsung menyala.
“Jadi
loe langsung menginspeksi kamar gue ya setiap kali gue pergi?”, semprotnya
ganas. Anjrit, gue kepergok. Dalam
posisi yang kurang bermartabat pula. Saat itu posisi saya saat sedang membaca
adalah berselonjor di lantai dengan posisi menyamping a la-a la pose Cleopatra.
Segera saya melarikan diri sambil tak lupa membawa kabur bukunya juga.
“Heh,
kembalikan bukunya”, hardiknya.
“Pinjam
dulu”
“Nanti.
Gue belum selesai baca”. Yahhhhh...dengan muka tak rela, akhirnya saya
kembalikan bukunya. Tapi yang namanya kenikmatan yang terinterupsi sehingga
tidak tuntas memang sangat menyiksa. Rasanya seperti Parjo yang sedang indehoy
dengan Suminah kembang desa, tapi keburu kepergok hansip. Sejenis hasrat yang
tidak bisa ditunda atau menunggu lama-lama.
Saya
masih ingat, hari itu juga ,sore tanggal 22 Mei 2009, saya langsung kabur ke
Gramedia – Bintaro Plaza memburu buku sialan ini. Saya bilang sialan
karena telah membuat saya merasa tidak tenang kalau tidak membaca sampai tuntas
hari itu juga. Ternyata bukunya ada di bagian rak best seller. Pantes! Harganya 45.000. Nggak tau ya kalo sekarang,
saya sih dulu beli harganya masih segitu.
Membaca
buku The Naked Traveler itu kayak
mendayung di danau yang penuh buaya. Sekali dayung, perahu melaju menuju tujuan,
satu dua ekor buaya ganas kena gebuk pake dayung, mendayung sambil memangku Nadya
Hutagalung pula. Penggambaran yang aneh ya? Biarin! Pokoknya membaca The Naked Traveler, kita bukan hanya
senyum-senyum (kadang saya malah tidak tahan untuk ngakak sampai pecah ketuban),
terhibur, tetapi kita juga dapat ilmu. Ilmunya juga bukan sebatas orientasi wilayah
dan geografi lokasi khas traveling saja,
tetapi juga ilmu Psikologi dan Matematika. Mulai dari hitung-hitungan sampai bagaimana menghadapi orang-orang dengan karakter tertentu.
Beneran!
Trinity kalau menceritakan sesuatu itu pakai bahasa yang ringan sehingga
gampang diterima, apalagi untuk saya yang IQ-nya
tiarap ini. Yang menarik, penggambarannya juga jujur dan apa adanya sehingga
kita gampang membayangkannya, seolah-olah kita sendiri yang mengalaminya. Kalau bagus, ya dibilang bagus. Dijelasin pula
bagusnya dimana dan bagaimana. Kalau jelek, juga dibilang jelek. Nggak ada
pencitraan bala tentara surgawi sama sekali. Saya kadang sempat berpikir, apa
dia nggak takut disemprot pihak-pihak yang merasa ditelanjangi di buku ini ya? Tapi
sepertinya nggak mungkin ya. Karena Trinity memang bukan sedang dalam posisi
menjelek-jelekkan atau nyinyir. Lebih tepat dibilang mengkritik dan memberi masukan.
Kritiknya juga bukan kritik sambel a la nenek-nenek yang bilang ‘ini jelek’ atau
‘itu bagus’, tapi nggak bisa menjelaskan jelek dan bagusnya di sebelah mana. Kadang malah Trinity berbaik hati kasih ide dan solusi. Cakep dah pokoknya. Minta cium dong, Trinity!
Trinity
juga sangat detil. Mulai dari nama jalan/lokasi/transportasi/makanan yang
semuanya dalam bahasa asing disebut dengan penjelasan yang tidak kalah detil.
Termasuk angka-angka njelimet seperti jarak tempuh, durasi waktu dan harga nominal
dalam bentuk kurs mata uang negara yang bersangkutan (disertai dengan
penyesuaian pada rupiah). Kita
benar-benar dibikin siap tempur karena setidaknya sudah tau apa yang harus dipersiapkan dan medan perangnya seperti apa. Jangan salah, beda negara/lokasi, maka beda pula alat tempur dan meda laganya.
Ibaratnya,
membaca The Naked Traveler itu
seperti mengikuti mata kuliah (dengan konsep satu arah) yang tidak membosankan.
Saya sebut satu arah karena tidak ada interaksi, hanya ada penjelasan dari satu
pihak. Tetapi itu bukan masalah, karena ‘dosen’ Trinity yang tercinta ini menjelaskan
dengan sangat detail. Bahkan sesuatu yang tadinya akan luput dari pemikiran dan
perhatian kita juga dijelaskan.
Jika
saja membaca The Naked Traveler adalah sebuah kuliah dan di akhir mata kuliah
Trinity mengeluarkan kalimat yg khas dari dosen yang akan mengakhiri kuliah : “Ada
pertanyaan?”, maka saya akan menjawab “Tidak ada, Tante. Tapi minta cium dong!”.
Catatan :
Trinity sampai saat ini sudah merilis **ceileh
merilis, kayak penyanyi saja** empat seri buku The Naked Traveler dan saya
sudah punya empat-empatnya. Cover-nya masih sangat saya benci setengah mati,
karena masih menggunakan warna-warni dangdut kesek-kesek : TNT 2
(hijau nurani), TNT 3 (oranye Tribuana
Tungga Dewi), TNT 4 (merah nirwana
menjelang petang). But hey, don’t judge
book by its cover. Cover boleh norak (warnanya), tetapi isinya penuh corak dan sorak.
Yakinlah!
Kabarnya
Trinity baru saja merilis TNT edisi
Bahasa Inggris, tetapi saya belum sempat cari, karena kemarin sibuk ikut audisi
Asian Next Top Model 2. Saya lihat di avatar Twitter-nya Trinity, pilihan warna untuk cover-nya sudah tidak norak-norak bergembira lagi.
Puji Tuhan! Doa orang-orang tertindas akhirnya dikabulkan. Trinity, minta cium dong!
0 komentar:
Posting Komentar