09/04/14

THE NAKED TRAVELER - Trinity, Minta Cium Dong!




Sejak kecil saya terbiasa baca buku terjemahan karya penulis asing, mulai dari dongeng a la Hans Christian Anderson, Grimm Brothers, novel Alfred Hitchcock dan Enyd Blyton. Satunya penulis Indonesia yang sangat saya sukai dan kagumi karyanya adalah Hilman Hariwidjaya dengan novel Lupus-nya.

Buat saya pribadi, saya punya standar mutlak mengenai bacaan wajib dan favorit saya. Tak peduli ceritanya tentang apa, mau sedih kek, drama kek, tragedi kek, petualangan kek, yang penting HARUS LUCU.

Misalnya salah satu novel favorit saya My Place karya Sally Morgan. Alur ceritanya sebenarnya sedikit dark, mengenai kehidupan keluarga keturunan Aborigin di Australia. Sebagai warga minoritas,  yang nama perlakuan diskriminasi dan karakter rendah diri tentu saja bukan sesuatu yang lucu. Tetapi entah kenapa, Sally selalu bisa menemukan sebuah jalinan cerita, dialog, dan setting adegan yang mungkin tidak disengaja lucu, tapi karena penuturan dan penggambarannya jujur dan apa adanya, akhirnya jadi lucu karena kita langsung membayangkan di dalam kepala kita visualisasinya seperti apa. Atau karena kita membayangkan seandainya kita mendengar dialog seperti itu dalam kehidupan kita sehari-hari, namun dalam situasi berbeda, jadinya malah absurd dan lucu. Humor seperti inilah yang selalu saya mau. Humor yang pada dasarnya tidak bertujuan untuk melucu, tetapi justru itu yang menjadi lucu.

Dari kecil sampai dewasa, saya lebih memilih bacaan fiksi. Kalau non fiksi sih malas banget, karena saya kadang mikir ngapain sih baca pengalaman orang? Sok iya banget cerita pengalaman yang belum tentu lebih oke dari pengalaman kita. Apa serunya baca cerita yang sudah bisa diprediksi akhirnya seperti apa. Biasalah, typical buku  self improvement , bersakit-sakit dahulu, lalu ada secercah cahaya di ujung lorong gelap, kemudian menikah dengan pangeran baik hati dan hidup bahagia selamanya di kastil di atas bukit.

Pertama kali kenal buku The Naked Traveler karya Trinity, justru saya sempat skeptis. Bukunya milik abang saya yang saya temukan waktu saya inspeksi kamarnya saat doski keluar rumah. Saya menemukannya di atas tempat tidurnya. Sumpah deh Abah, cover bukunya sangat tidak menarik (menurut selera pribadi saya lho). Pertama kali lihat, saya malah sempat berpikir ini buku tentang proyek pertambangan. Karena visualisasi pada cover-nya yang biru nugget kayak peta bawah tanah, lengkap dengan jalur-jalur yang harus dilalui truk pengangkut berlian. Design-nya juga super minimalis, ditambah lagi pilihan font yang mirip font hasil produksi komputer zaman program lotus dan dos yang disketnya segede piring itu. Hadeuhh...malasnya abang lihat buku seperti ini. Ini yang bikin buku niat nggak sih sebenernya bikin buku?

Hampir saja tuh buku saya lempar keluar jendela, tetapi tiba-tiba  tulisan ‘naked’-nya menggugah birahi saya. Harap maklum, namanya juga cowok. Naked? Asyik nih! Trus, nama penulisnya ‘Trinity’. Ini cowok atau cewek ya? Kalau tebak-tebak buah manggis sih kayaknya cewek. Asyik nih! Tapi kan kemarin di MTV ada juga boyband yang bernama Trinity? Mulai nggak asyik nih!

Daripada berspekulasi soal jenis kelamin penulisnya, saya  langsung buka saja lembar demi lembar sambil berharap menemukan gambar vulgar sesuai dengan judul bukunya. Ngeliatnya juga sambil sreeeeeeettt gitu. Tau kan maksud saya, bagaimana kita kalau sedang mencari uang kertas yang kita selipkan di dalam buku. Ada sih beberapa gambar ilutrasi dengan gaya kartun, tapi yang begitu mana bisa bikin nafsu, Tante?

Akhirnya saya mengubah strategi. Switch to plan B. Saya mencari lewat lembar Daftar Isi. Saya mencari judul-judul yang kira-kira ‘menjurus’ dan provokatif.
“Ketemu Malaikat di Airport”. Hmmm, petugas airport tax kali maksudnya. Yang begitu dibilang malaikat. Cih!
“Pilih Makan Rendang atau KKN”. Busyet, mbok ya kalau bikin pilihan tuh apple to banana. “Kumbang, Pantat dan Kentut”. Hmmm, sepertinya menjanjikan. Tapi kok agak jorok dan tidak sopan ya?
“Mengangkang di Kepala Porter”. Haaaaa! Kata kunci ‘ngangkang’. Ngangkang di kepala pula, saya langsung membayangkan yang tidak-tidak. Enak nih! Dan ya, akhirnya saya memutuskan untuk membaca bab ini terlebih dahulu. Hahaha, ngangkang di kepala? Sedap, mas bro!!!!

Begitu saya buku bab yang letaknya tepat di halaman 68 itu, saya langsung kaget (dan diam-diam kecewa). Kok ilustrasinya gambar opelet-nya si Doel, ada dua babi nangkring di atas dan seekor bebek gelantungan di jendela. Tetapi saya berpikir positif, mungkin ini kamuflase untuk mengecoh lembaga sensor.  Dan mulailah saya membaca sambil mempersiapkan diri menemukan kalimat yang tidak-tidak dan penuh kode rahasia. Lokasi ceritanya di beberapa kota negara Asia. Berarti selera Asia, yang kebetulan selera gue banget. Lanjut, mas bro!

Tapi sampai habis bab ini saya baca, kok ya nggak ada cerita yang saya harapkan. Emang sih beneran ada yang ngangkang, yaitu saat penulisnya turun dari kapal di garis pantai. Jadi jika tidak mau basah, maka harus mau diangkut oleh porter khusus tukang angkut manusia sampai ke darat. Pilihan gaya angkutnya ditentukan sendiri oleh pengguna jasa sesuai posisi favoritnya, biasa diangkut dengan gaya ‘monyet Tarzan nangkring di bahu Tarzan’, atau duduk ngangkang di bagian belakang leher si pengangkut. Busyet, bagian yang ‘itu’ kena ke tengkuk doski dong. Bukan cuma kena lagi kayaknya, tetapi nempel. Huahahahaha, saya langsung ngakak membayangkannya. Seru nih!

Memang sih, tidak seperti yang saya harapkan, tetapi yang begini-begini juga selera saya banget : sesuatu yang sebenarnya tidak bertujuan lucu, tetapi justru lucu banget. Kan saya sudah ngomong begini di awal tadi. Habis baca bab ini saya kok tiba-tiba merasa lahir baru alias terlahir kembali. Hallah, lebay! Pokoknya habis baca bab ini, saya seperti mendapat sesuatu. Sesuatu yang berbentuk ilmu. Ilmu yang disampaikan dalam bentuk narasi. Narasi yang tulis dalam bahaya yang ringan. Ringan sehingga mudah dicerna. Mudah dicerna sehingga gampang masuk ke otak. Otak yang...STOP!!! Mau sampai kapan bikin rangkaian kalimat berantai seperti ini?

Ya sudah deh, saya langsung balik kanan kembali ke halaman awal buku. Saking excited-nya, lembar Kata Pengantar ‘Naked Intro’-pun saya baca. Kata Pengantar-nya saja bisa membuat saya tertohok.  

“Traveling tidak hanya sekedar foto-foto dan berbelanja di tempat wisata, juga bukan hanya ke luar negeri atau kota-kota besar yang banyak Mall”
 
Nah lho, selama ini saya tidak suka traveling karena dalam bayangan saya traveling itu ya seperti itu. Seperti itu gimana maksud loe? Ya seperti itu. Seperti gimana? Ya seperti itu : berangkat, sampai di tujuan, belanja-belinji sampe jereng, jalan-jalan di tempat wisata sampai puyeng, trus pulang. Apa serunya, kakak?

Ternyata The Naked Traveler membuka mata dan pikiran saya, tetapi tidak baju saya. Ada banyak hal-hal yang jauh lebih menarik dan penting banget untuk diketahui daripada sekedar menikmati pemandangan wisata dan beli souvenir. Hal-hal yang justru lebih bermanfaat bukan hanya untuk fisik, tetapi juga mental. Apakah itu, kakak? Itu adalah kisah-kisah pra, during dan pasca traveling. Mulai dari booking tiket, karena ternyata booking tiket juga punya cerita tersendiri. Lalu menghadapi berbagai macam karakter orang saat ngurus visa. Beradaptasi dengan budaya negeri orang dengan segala kisruh bahasa, culture shock dan isu rasis. Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya...seperti lagunya  Ikko  Si Ratu OK.

Membaca bab demi bab buku The Naked Traveler membuat saya lupa diri sehingga lengah dan tidak menyadari bahaya yang mengintai sedari tadi. Ketika saya sampai pada bab “Kuping Babi, Embrio Bebek atau Kecoa?”, tiba-tiba sebuah bayangan hitam tinggi besar menutupi arah datangnya cahaya. Saya menengadah. Duarrrrrrr!!!!!! Ternyata abang saya sudah berdiri di pintu kamarnya, berdiri sambil berkacak pinggang. Mayday, mayday! Tombol panik langsung menyala.

“Jadi loe langsung menginspeksi kamar gue ya setiap kali gue pergi?”, semprotnya ganas.  Anjrit, gue kepergok. Dalam posisi yang kurang bermartabat pula. Saat itu posisi saya saat sedang membaca adalah berselonjor di lantai dengan posisi menyamping a la-a la pose Cleopatra. Segera saya melarikan diri sambil tak lupa membawa kabur bukunya juga.

“Heh, kembalikan bukunya”, hardiknya.
“Pinjam dulu”
“Nanti. Gue belum selesai baca”. Yahhhhh...dengan muka tak rela, akhirnya saya kembalikan bukunya. Tapi yang namanya kenikmatan yang terinterupsi sehingga tidak tuntas memang sangat menyiksa. Rasanya seperti Parjo yang sedang indehoy dengan Suminah kembang desa, tapi keburu kepergok hansip. Sejenis hasrat yang tidak bisa ditunda atau menunggu lama-lama.

Saya masih ingat, hari itu juga ,sore tanggal 22 Mei 2009, saya langsung kabur ke Gramedia – Bintaro Plaza memburu buku sialan ini. Saya bilang sialan karena telah membuat saya merasa tidak tenang kalau tidak membaca sampai tuntas hari itu juga. Ternyata bukunya ada di bagian rak best seller. Pantes! Harganya 45.000. Nggak tau ya kalo sekarang, saya sih dulu beli harganya masih segitu.

Membaca buku The Naked Traveler itu kayak mendayung di danau yang penuh buaya. Sekali dayung, perahu melaju menuju tujuan, satu dua ekor buaya ganas kena gebuk pake dayung, mendayung sambil memangku Nadya Hutagalung pula. Penggambaran yang aneh ya? Biarin! Pokoknya membaca The Naked Traveler, kita bukan hanya senyum-senyum (kadang saya malah tidak tahan untuk ngakak sampai pecah ketuban), terhibur, tetapi kita juga dapat ilmu. Ilmunya juga bukan sebatas orientasi wilayah dan geografi lokasi khas traveling saja, tetapi juga ilmu Psikologi dan Matematika. Mulai dari hitung-hitungan sampai bagaimana menghadapi orang-orang dengan karakter tertentu.

Beneran! Trinity kalau menceritakan sesuatu itu pakai bahasa yang ringan sehingga gampang diterima, apalagi untuk saya yang IQ-nya tiarap ini. Yang menarik, penggambarannya juga jujur dan apa adanya sehingga kita gampang membayangkannya, seolah-olah kita sendiri yang mengalaminya.  Kalau bagus, ya dibilang bagus. Dijelasin pula bagusnya dimana dan bagaimana. Kalau jelek, juga dibilang jelek. Nggak ada pencitraan bala tentara surgawi sama sekali. Saya kadang sempat berpikir, apa dia nggak takut disemprot pihak-pihak yang merasa ditelanjangi di buku ini ya? Tapi sepertinya nggak mungkin ya. Karena Trinity memang bukan sedang dalam posisi menjelek-jelekkan atau nyinyir. Lebih tepat dibilang mengkritik dan memberi masukan. Kritiknya juga bukan kritik sambel a la nenek-nenek yang bilang ‘ini jelek’ atau ‘itu bagus’, tapi nggak bisa menjelaskan jelek dan bagusnya di sebelah mana. Kadang malah Trinity berbaik hati kasih ide dan solusi. Cakep dah pokoknya. Minta cium dong, Trinity!

Trinity juga sangat detil. Mulai dari nama jalan/lokasi/transportasi/makanan yang semuanya dalam bahasa asing disebut dengan penjelasan yang tidak kalah detil. Termasuk angka-angka njelimet seperti jarak tempuh, durasi waktu dan harga nominal dalam bentuk kurs mata uang negara yang bersangkutan (disertai dengan penyesuaian pada rupiah).  Kita benar-benar dibikin siap tempur karena setidaknya sudah tau apa yang harus dipersiapkan dan medan perangnya seperti apa. Jangan salah, beda negara/lokasi, maka beda pula alat tempur dan meda laganya.

Ibaratnya, membaca The Naked Traveler itu seperti mengikuti mata kuliah (dengan konsep satu arah) yang tidak membosankan. Saya sebut satu arah karena tidak ada interaksi, hanya ada penjelasan dari satu pihak. Tetapi itu bukan masalah, karena ‘dosen’ Trinity yang tercinta ini menjelaskan dengan sangat detail. Bahkan sesuatu yang tadinya akan luput dari pemikiran dan perhatian kita juga dijelaskan.

Jika saja membaca The Naked Traveler adalah sebuah kuliah dan di akhir mata kuliah Trinity mengeluarkan kalimat yg khas dari dosen yang akan mengakhiri kuliah : “Ada pertanyaan?”, maka saya akan menjawab “Tidak ada, Tante. Tapi minta cium dong!”.

Catatan :
Trinity sampai saat ini sudah merilis **ceileh merilis, kayak penyanyi saja** empat seri buku The Naked Traveler dan saya sudah punya empat-empatnya. Cover-nya masih sangat saya benci setengah mati, karena masih menggunakan warna-warni dangdut kesek-kesek :   TNT 2 (hijau nurani), TNT 3 (oranye Tribuana Tungga Dewi), TNT 4 (merah nirwana menjelang petang). But hey, don’t judge book by its cover. Cover boleh norak (warnanya), tetapi isinya penuh corak dan sorak. Yakinlah!

Kabarnya Trinity baru saja merilis TNT edisi Bahasa Inggris, tetapi saya belum sempat cari, karena kemarin sibuk ikut audisi Asian Next Top Model 2. Saya lihat di avatar Twitter-nya Trinity, pilihan warna untuk cover-nya sudah tidak norak-norak bergembira lagi. Puji Tuhan! Doa orang-orang tertindas akhirnya dikabulkan. Trinity, minta cium dong!
Share:

0 komentar:

Posting Komentar