21/05/14

Memilih PRESIDEN Pakai Jari & Hati

Sudah fix ya berarti bahwa yang nanti akan duel dalam Pemilu Presiden & Wakil Presiden nanti adalah Jokowi & Jusuf Kalla VS Prabowo & Hatta Rajasa?  Baguslah. Itu artinya Pemilu hanya akan dilakukan satu putaran saja yang otomatis akan memangkas biaya APBN.

Jadi nanti mau pilih siapa? Jokowi & Jusuf Kalla (JJ) atau Prabowo & Hatta Rajasa (Prahara)?

Jauh hari sebelumnya, saat Jokowi masih digadang-gadang untuk menjadi calon presiden, saya sudah nggak setuju. Saya maunya Jokowi konsentrasi dan fokus dulu sebagai Gubernur Jakarta. Jakarta masih semrawut, masih banyak yang harus dibenahi.

Ngomong-ngomong soal calon presiden dan kalau mau jujur, saya lebih setuju Ahok yang maju. Gilaaa, dia itu gokil, galak dan cerdas. Dan secara penampilan, dia tentunya jauh lebih berwibawa. Ah Papi Ahok, kau memang perkasa.

Awalnya saya memang nggak setuju Jokowi nyapres. Dan saya juga yakin Jokowi nggak berminat mengajukan diri jadi presiden, kelihatan kok dari gerak-geriknya. Tetapi berhubung saya type orang yang nggak memandang satu objek hanya dari satu sudut pandang saja, maka perlahan-lahan pemikiran saya berubah. Berubah dalam arti berkembang ya, bukan plin-plan.

Saya percaya banget Jokowi ini bukan type orang yang berani macem-macem, dia itu orang jujur  dan woles. Eh, woles apa’an ya? Mudah-mudahan penggunaannya tepat ya. Bukannya saya sok tau atau gimana, bukan pula punya sixth sense. Tetapi dari dulu saya selalu berhasil mengenal sisi pribadi seseorang hanya dari melihat ekspresi dan gerak-geriknya. Makanya saya bisa tiba-tiba benci sama seseorang meskipun dia nggak pernah berbuat sesuatu yang menyakiti atau merugikan saya. Sebaliknya, saya juga bisa simpati sama seseorang yang bahkan tidak kenal saya atau pernah melakukan sesuatu untuk saya.

Jakarta masih butuh Jokowi. Sebagai warga Jakarta, saya sangat merasakan ada perubahan di Jakarta. Ya, walaupun kecil dan belum sebanding dengan masalah yang numpuk di Jakarta, tetapi setidaknya ada bukti konkritnya. Misalnya, relokasi kawasan kumuh. Dulu kan gubernur sebelum Jokowi ini bisanya cuma main gusur aja. Miris rasanya ngeliat warga miskin nangis-nangis sambil bertaruh nyawa membela dan mempertahankan harta benda miliknya saat digusur dan diporak porandakan oleh kendaraan milik Satpol PP.
Sekarang? Semuanya berjalan damai. Ya, mungkin memang ada sedikit riak-riak kecil. Biasalah, warga memang suka drama. Dikasih hati, minta lever. Eh, hati sama lever sama ajan toh? Sempet ngeyel sih sebenernya, tetapi setelah digalakin Ahok, baru deh keder. Gimana nggak berjalan damai. Relokasinya bukan main gusur gitu aja, tetapi emang disediain tempat tinggal berupa rumah susun dengan kondisi dan lingkungan yang jauh lebih manusiawi.

Salah satunya lagi adalah pembersihan waduk yang selama ini menjadi sumber banjir bandang di Jakarta kalau airnya meluap akibat curah hujan yang berderai-derai.  Selain jalan raya yang macet, masalah banjir ini juga merupakan salah satu agenda Jokowi dan Ahok. Kini beberapa waduk yang tersebar di Jakarta sudah bersih dari sampah dan tumbuhan eceng gondok. Debit air menjadi normal dengan drainase yang lancar. Kemaren sempat turun hujan seharian, nggak ada kabar banjir lagi kan? Secara, dulu hujan gerimis aja bisa langsung bikin laut mini di beberapa wilayah Jakarta.

Jangan lupakan juga kawasan Tanah Abang yang dulu macet kampret dan padat nggak jelas juntrunganya. Semakin parah karena tuh kawasan adalah salah satu daerah jajahan para preman turun temurun. Setelah ditangani Jokowi dan Ahoh, kini Tanah Abang sudah rapi dan beradab. Preman-preman minggat semua. Untuk hal yang satu ini, saya acung jempol sama Jokowi dan Ahok. Senang rasanya melihat ada pemimpin yang nggak takut sama preman. Ya iyalah, preman gitu lho. Nggak kerja, tetapi maunya dapet duit. Enak bener hidup loe! Terbukti kan, kalo balas digalakin, preman galak juga keder. Ah, Papa Ahok memang perkasa.

Nah lho, berhubung agenda untuk melakukan perubahan di Jakarta sudah berjalan begini, seharusnya Jokowi konsisten dong. Jangan main tinggal aja. Iya, begitulah pemikiran sebagian besar orang. Mereka nggak tau bahwa untuk membuat perubahan yang lebih besar dan signifikan, Gubernur dan Wakil Gubernur tidak bekerja sendiri, tetapi juga bekerja sama, berinteraksi dan bersinergi dengan pejabat pemerintah yang lain. Sebagai sosok yang benci korupsi dan segala bentuk penyelewengan, tentu saja akses Jokowi dan Ahok akan selalu mendapat hambatan dari oknum-oknum pejabat pemerintah lain di lembaga tertentu, dimana korupsi dan penyelewengan sudah merupakan budaya, kebutuhan, panggilan jiwa dan gaya hidup. Sudah merupakan hukum alam bahwa yang jahat akan selalu menghalangi niat yang baik. Iya toh? Untuk itu, perlu ada sebuah akses langsung ke jenjang jabatan yang lebih tinggi agar bisa meng-skip birokrasi berbelit-belit dan penuh niat jahat dari para pejabat negara lainnya. Salah satu jalannya adalah Jokowi atau Ahok harus punya akses langsung sebagai sosok penting pembuat keputusan.

Saya percaya ini bukan kebetulan, tetapi memang sudah jalannya. Jokowi membutuhkan posisi dan power yang lebih kuat dan luas untuk melakukan perubahan. Dan itu bisa didapat jika saja Jokowi  atau Ahok yang menjadi presiden. Kalau Ahok kan nggak mungkin, u know-lah why...maka Jokowi-lah yang maju.

Seperti yang saya bilang di atas, Jokowi sejak awal memang tidak tertarik menjadi presiden. Dan dia memang jelas-jelas menolaknya waktu itu. Makanya saya heran ketika ada orang yang bilang bahwa Jokowi haus jabatan. Please deh, nggak pernah nonton TV ya? Atau nonton TV-nya baru kemaren sore aja setelah puas nonton infotainement dan kontes putri-putrian? Jokowi tidak mengajukan diri menjadi presiden kayak Prabowo atau yang lebih menggelikan: Rhoma Irama. Tetapi Jokowi direkomendasikan oleh partai dan juga didukung oleh masyarakat. Jadi Jokowi bukan datang ucuk-ucuk-jebret, lalu bilang “Hai semua, saya mau jadi presiden dong”. Jokowi akhirnya percaya diri menjadi calon presiden setelah mendapat rekomendasi dan dukungan, jadi bukan ambisi pribadi.

Saya simple aja sih sebenernya. Jokowi itu pribadi yang sederhana, jujur dan nggak neko-neko. Buat saya itu penting. Itu adalah kepribadian yang tidak dimiliki oleh presiden sebelumnya, makanya mosi negara ini hanya bolak-balik antara mundur dan jalan di tempat melulu. Karena nggak sederhana, akibatnya pemborosan uang negara. Karena nggak jujur, akibatnya korupsi meraja dimana-mana. Karena neko-neko, sehingga membuat banyak orang sebal dan nggak respek.

Banyak black campaign ditujukan kepada Jokowi. Mulai dari fitnah dan tuduhan bahwa Jokowi itu keturunan Chinese, bukan Islam  dan hal-hal SARA lainnya. Biasalah bigots, senjatanya gak pernah jauh-jauh dari isu SARA karena memang isu sensitif. Sudah kodratnya bahwa yang menjadi korban black campaign adalah sesuatu/seseorang yang dianggap ‘kuat’, sehingga kompetitor tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menunjukkan kwalitas dan kekuatannya  selain fokus menjelek-jelekan lawannya saja. Untungnya, black campaign itu hanya mempan untuk orang-orang bodoh. Yang kalau melakukan atau mendapat sesuatu nggak pake mikir. Pada satu sisi, jelas ini menguntungkan karena Jokowi tentu tidak mau didukung oleh orang-orang bodoh yang nggak bisa mikir. Nanti malah jadi backfire dan blunder. Seleksi alam akan menentukan siapa-siapa yang layak mendukung Jokowi, dan siapa-siapa yang sebaiknya mengambil posisi jadi anti Jokowi.

Orang bisa saja bilang “terserah deh siapa Presidennya, yang penting Indonesia aman”. Bukannya sejak dulu Indonesia relatif aman? Siapapun presidennya, sekampret apapun keputusannya, kita mungkin akan survive. Tetapi bagaimana dengan masyarakat kecil di bawah sana? Setiap keputusan yang salah akan langsung mempengaruhi hidup mereka. Seperti kenaikan BBM, kenaikan tarif listrik, fasilitas pendidikan yang tidak memadai, kebijakan yang tidak memperhatikan nasib petani, pedagang kecil, peternak, buruh dan lain-lain akan langsung mempenagurhi kehidupan mereka. Buat saya pribadi, sangat penting sosok presiden yang punya kepedulian kepada masyarakat kecil dan ekonomi lemah. Saya lebih memilih presiden yang nantinya lebih memperhatikan mereka daripada saya. Seperti yang saya bilang tadi, apapun yang akan terjadi, saya akan survive. Tetapi mereka tidak. Saya nggak butuh diperhatikan, tetapi mereka butuh. Jokowi terbukti dicintai masyarakat kecil karena dia peduli.

Tetapi pada akhirnya saya hanya akan kembali berpikir secara sederhana. Saya lebih percaya kepada orang yang track record-nya bersih daripada orang yang pernah terlibat kasus pelanggaran HAM. Masih ingat kan kasus penculikan aktivis zaman Orde Baru yang sampai sekarang tidak jelas rimbanya. Saya terbayang seandainya yang diculik itu adalah abang atau adik saya, bagaimana perasaan saya.  Atau bagaimana dulu seorang anak Menteri bebas dari hukuman dan melenggang bebas menonton konser girlband Korea setelah menabrak orang sampai mati. Saya tidak bisa membayangkan seandainya yang menjadi korban adalah keluarga saya. Melihat pelakunya menjadi pemimpin negara ini akan selalu mengingatkan saya pada  kejadian buruk itu. Melihat ayah pelakunya menjadi pemimpin negara ini akan sangat menyakiti hati saya. Ini bukan black campaign untuk Prabowo dan Hatta Rajasa ya, tetapi ini realita. Catat!


Masa lalu memang adalah masa lalu. Tetapi ketika ada pilihan antara memilih orang baik dengan orang dengan track record yang bersih versus orang dengan track record yang tidak terlalu inspiratif, siapa yang akan anda pilih? Siapa yang lebih anda percaya untuk memimpin negara ini?
Share:

0 komentar:

Posting Komentar