Balige, 24 September 2017
Entah kenapa, ketika melepas tamu
saya (sepasang bule Amerika) di dermaga untuk naik kapal menuju pulau Samosir
hari Jumat lalu, saya sedikit ngotot menitipkan nomor telepon saya untuk mereka
simpan.
Kalau mama saya tau, pasti saya
dibilang kecentilan.
Bayangkan, dua-duanya tidak bisa
bahasa Indonesia. Si cowok bisa sih, tetapi hanya sepatah dua patah kata. Kayak
kita yang cuma hafal 'thank you', 'I love you' dan 'no
smoking'. Mana laku dibawa keliling kampung?
Makanya saya sebenarnya agak-agak
ragu juga melepas mereka sendiri.
"Can you please come to
the dock. We need help here".
Nah lho...
"OK, I'll be there right
away. Don't say or pay anything before I get there".
Kalimat ini juga sudah lama saya
idam-idamkan untuk saya ucapkan ke orang. Rasanya kayak James Bond. Yihaaaaa...
Dan cussss..., saya
tancap gas ke dermaga, sampai mecahin rekor baru: berhasil nyalip lima becak
sekali gas.
Begitu sampai di dermaga, baru
ketahuan masalahnya. Pasangan bule ini disuruh bayar tiket kapal satu juta.
What? Satu juta? Itu tadi naik kapal atau naik pesawat tempur? Saya
langsung naik pitam.
Sempat berdebat dan sedikit
saling bentak dalam bahasa Batak. Tadinya mereka pikir saya bukan orang Batak, jadi agak-agak sepele gitu. Well, they mess with the wrong bitch.
Saya memang baru berubah jadi orang Batak kalau sudah marah. Kalau lagi jinak
sih saya orang Spanyol. Tapi kalau udah keluar Bataknya saat marah, kebun
binatang langsung hening seketika.
Apalagi si cewek cerita mereka
sempat diancam akan dibawa balik lagi ke Samosir kalau gak mau bayar sejuta.
Bedebah kutu kupret, beraninya sama perempuan!
Setelah nego dan tau
persoalannya, akhirnya sepakat bayar sekian rupiah yang menurut saya masih
terlalu mahal untuk sebuah kapal jelek. Maaf ya, kapalnya memang jelek
kok. Bisa gitu lho di geladak belakang ada parade kolor busuk di jemuran.
Kendala bahasa membuat
orang-orang lokal merasa bisa menipu orang-orang asing seenaknya. Pura-pura
sudah jelasin pakai bahasa English-ge (English-Balige) yang cuma
dia dan Tuhan yang bisa ngerti.
Demikian sekilas dialog kami:
"Kok bisa ongkos kapalnya
semahal itu?"
"Saya sudah bilang tadi
ongkosnya sejuta, Lae. Dan mereka setuju. 'Yes' katanya"
"Ngomongnya gimana tadi?"
"Ya begitu"
"Begitu gimana?"
"Ya begitulah!"
"Lae bisa bahasa Inggris?"
"Eh jangan sepele kau,
Lae"
"Bisa gak?"
"Bisalah!"
"Coba sekarang ngomong,
saya mau dengar tadi ngomongnya gimana".
"Saya memang bukan
sarjana, Lae. Tapi saya pinter".
Ah diamlah kau! Kubikinlah kau nanti beserak di aer-aer itu, yekan.
Saat lagi debat, seorang
bapak-bapak keriting berkacamata hitam (yang sempat saya pikir Deddy Dores)
nimbrung pake bahasa Inggris yang lagi-lagi hanya dia dan Tuhan yang ngerti.
"Wes jewes jewes...", katanya.
"Bablas angine", sambung saya dalam hati. Saya aja bingung dia
berpihak ke siapa.
Mungkin di sini masih sangat
jarang penduduk lokal yang bisa bahasa Inggris. Atau mungkin ada, tetapi gak muncul ke permukaan. Makanya waktu saya ngobrol
dengan pasangan bule tersebut, satu kampung langsung berkerumun nonton,
kayak lagi nonton topeng monyet. Yang jelas bukan saya monyetnya.
Begitu selesai ngobrol, ada yang
tepuk tangan segala. Apa'an sih, 'Nyet!?
Dan begitulah kejadiannya.
Mentalitas & kelakuan penduduk lokalnya, hadeuhhhhh...bikin wisatawan nggak
betah dan malas balik lagi. Ya kayak kejadian yang saya ceritakan di atas.
Tapi rata-rata, orang dewasanya
sih yang menyebalkan. Anak-anaknya seru dan sopan. Saat akan meninggalkan
dermaga, anak-anak pada dadah-dadahin.
"Baiiiii mister... Baiii
suster...", katanya.
Lho, kok suster? "Ai lofi you"
"Lofi yu tu"
"Bang, lempar koin ke
danau, Bang. Biar kami ambil", kata
segerombolan anak laki-laki mokoldo ke saya. Mokoldo maksudnya modal
kolor doang.
"Wah, saya gak bawa koin"
"Lempar sepatunya aja,
Bang", sambil menatap sepatu Reebok saya penuh minat.
Enak aja!
Anak-anaknya ngomongnya sopan dan
murah senyum. Masih gampang kalau mau dididik untuk menjadi agen perubahan.
Jadi kalau pemerintah daerah sini
koar-koar dengan slogan membuat Balige menjadi Monaco of Asia, saya cuma bisa bilang, "Oh, shut up!".
Benahin dulu gih mentalitas
SDM-nya biar nggak jadi tukang tipu, jangan hanya sibuk dengan pembenahan airport-nya
aja.
Buat apa punya airport (yang
katanya bakal) keren, tetapi SDM-nya ngajak berantem. Tetapi sumpah, saya
masih bingung kerennya dimana. Wong kantinnya aja lebih mirip kedai tuak. Saya
yang rakyat jelata aja nggak selera, apalagi James Bond? Pak Luhut Panjaitan pernah ke situ gak sih?
Ada banyak airport yang jauh
lebih keren dan penduduk lokalnya baik hati di seluruh destinasi wisata di
Indonesia, bagaimana kita bisa menarik minat & perhatian wisatawan dari mereka? Pusing
kepala James Bond!
Saya sampai minta maaf sama
pasangan bule itu padahal saya gak ada urusan apa-apa sama kejadian itu. Hati kecil saya malu dan pengen
nangis. Saya sudah setengah mati membangun citra penduduk lokal (Balige)
sebagai sosok yang ramah & baik hati lewat diri saya sendiri (karena saya
sudah menganggap diri saya blasteran putra Balige & Tarutung), eh datanglah
kawanan kutu kupret tadi menghancurkan segalanya lewat aksi tipu-tipunya.
Apalah artinya potensi bisnis dan
wisata jika penduduk lokalnya mempertuhankan uang yang membuat mereka
kehilangan nurani & nilai kemanusiaannya?
0 komentar:
Posting Komentar