25/09/18

Balige & THE SCAM Dock


Balige, 24 September 2017



Entah kenapa, ketika melepas tamu saya (sepasang bule Amerika) di dermaga untuk naik kapal menuju pulau Samosir hari Jumat lalu, saya sedikit ngotot menitipkan nomor telepon saya untuk mereka simpan. 
Kalau mama saya tau, pasti saya dibilang kecentilan. 

 "Keep it in case you need help. Just call me and I'll be there," kata saya sok hebat. Hahaha!  Soalnya sudah lama saya memendam hasrat untuk mengucapkan kalimat tersebut, biar seperti di film-film itu lho. Rasanya keren banget kalau bisa ngomong gitu ke orang lain.

Bayangkan, dua-duanya tidak bisa bahasa Indonesia. Si cowok bisa sih, tetapi hanya sepatah dua patah kata. Kayak kita yang cuma hafal 'thank you', 'I love you' dan 'no smoking'. Mana laku dibawa keliling kampung? 
Makanya saya sebenarnya agak-agak ragu juga melepas mereka sendiri.

 Dan benar saja. Siang tadi telepon saya berbunyi. Dari si cewek. 
"Can you please come to the dock. We need help here".
Nah lho...

"OK, I'll be there right away. Don't say or pay anything before I get there". 
Kalimat ini juga sudah lama saya idam-idamkan untuk saya ucapkan ke orang. Rasanya kayak James Bond. Yihaaaaa...

Dan cussss..., saya tancap gas ke dermaga, sampai mecahin rekor baru: berhasil nyalip lima becak sekali gas.

Begitu sampai di dermaga, baru ketahuan masalahnya. Pasangan bule ini disuruh bayar tiket kapal satu juta. What? Satu juta? Itu tadi naik kapal atau naik pesawat tempur?  Saya langsung naik pitam.

Sempat berdebat dan sedikit saling bentak dalam bahasa Batak. Tadinya mereka pikir saya bukan orang Batak, jadi agak-agak sepele gitu. Well, they mess with the wrong bitch
Saya memang baru berubah jadi orang Batak kalau sudah marah. Kalau lagi jinak sih saya orang Spanyol. Tapi kalau udah keluar Bataknya saat marah, kebun binatang langsung hening seketika.

Apalagi si cewek cerita mereka sempat diancam akan dibawa balik lagi ke Samosir kalau gak mau bayar sejuta. Bedebah kutu kupret, beraninya sama perempuan!

Setelah nego dan tau persoalannya, akhirnya sepakat bayar sekian rupiah yang menurut saya masih terlalu mahal untuk sebuah kapal jelek. Maaf ya, kapalnya memang jelek kok. Bisa gitu lho di geladak belakang ada parade kolor busuk di jemuran.

Kendala bahasa membuat orang-orang lokal merasa bisa menipu orang-orang asing seenaknya. Pura-pura sudah jelasin pakai bahasa English-ge (English-Balige) yang cuma dia dan Tuhan yang bisa ngerti.

Demikian sekilas dialog kami:
"Kok bisa ongkos kapalnya semahal itu?"
"Saya sudah bilang tadi ongkosnya sejuta, Lae. Dan mereka setuju. 'Yes' katanya"
"Ngomongnya gimana tadi?"
"Ya begitu"
"Begitu gimana?"
"Ya begitulah!"
"Lae bisa bahasa Inggris?"
"Eh jangan sepele kau, Lae"
"Bisa gak?"
"Bisalah!"
"Coba sekarang ngomong, saya mau dengar tadi ngomongnya gimana".
"Saya memang bukan sarjana, Lae. Tapi saya pinter".

Ah diamlah kau! Kubikinlah kau nanti beserak di aer-aer itu, yekan.

Saat lagi debat, seorang bapak-bapak keriting berkacamata hitam (yang sempat saya pikir Deddy Dores) nimbrung pake bahasa Inggris yang lagi-lagi hanya dia dan Tuhan yang ngerti.

"Wes jewes jewes...", katanya.  
"Bablas angine", sambung saya dalam hati. Saya aja bingung dia berpihak ke siapa.

Mungkin di sini masih sangat jarang penduduk lokal yang bisa bahasa Inggris. Atau mungkin ada, tetapi gak muncul ke permukaan. Makanya waktu saya ngobrol dengan pasangan bule tersebut,  satu kampung langsung berkerumun nonton, kayak lagi nonton topeng monyet. Yang jelas bukan saya monyetnya. 
Begitu selesai ngobrol, ada yang tepuk tangan segala. Apa'an sih, 'Nyet!?

Dan begitulah kejadiannya. Mentalitas & kelakuan penduduk lokalnya, hadeuhhhhh...bikin wisatawan nggak betah dan malas balik lagi. Ya kayak kejadian yang saya ceritakan di atas.

Tapi rata-rata, orang dewasanya sih yang menyebalkan. Anak-anaknya seru dan sopan. Saat akan meninggalkan dermaga, anak-anak pada dadah-dadahin. 
"Baiiiii mister... Baiii suster...", katanya. Lho, kok suster? "Ai lofi you"
"Lofi yu tu"

"Bang, lempar koin ke danau, Bang. Biar kami ambil", kata segerombolan anak laki-laki mokoldo ke saya.  Mokoldo maksudnya modal kolor doang. 
"Wah, saya gak bawa koin"
"Lempar sepatunya aja, Bang", sambil menatap sepatu Reebok saya penuh minat.
Enak aja!

Anak-anaknya ngomongnya sopan dan murah senyum. Masih gampang kalau mau dididik untuk menjadi agen perubahan.
  
Jadi kalau pemerintah daerah sini koar-koar dengan slogan membuat Balige menjadi Monaco of Asia, saya cuma bisa bilang, "Oh, shut up!".  
Benahin dulu gih mentalitas SDM-nya biar nggak jadi tukang tipu, jangan hanya sibuk dengan pembenahan airport-nya aja. 

Buat apa punya airport (yang katanya bakal) keren, tetapi SDM-nya ngajak berantem. Tetapi sumpah, saya masih bingung kerennya dimana. Wong kantinnya aja lebih mirip kedai tuak. Saya yang rakyat jelata aja nggak selera, apalagi James Bond? Pak Luhut Panjaitan pernah ke situ gak sih?

Ada banyak airport yang jauh lebih keren dan penduduk lokalnya baik hati di seluruh destinasi wisata di Indonesia, bagaimana kita bisa menarik minat & perhatian wisatawan dari mereka? Pusing kepala James Bond!

Saya sampai minta maaf sama pasangan bule itu padahal saya gak ada urusan apa-apa sama kejadian itu. Hati kecil saya malu dan pengen nangis. Saya sudah setengah mati membangun citra penduduk lokal (Balige) sebagai sosok yang ramah & baik hati lewat diri saya sendiri (karena saya sudah menganggap diri saya blasteran putra Balige & Tarutung), eh datanglah kawanan kutu kupret tadi menghancurkan segalanya lewat aksi tipu-tipunya.

Apalah artinya potensi bisnis dan wisata jika penduduk lokalnya mempertuhankan uang yang membuat mereka kehilangan nurani & nilai kemanusiaannya?

Share:

0 komentar:

Posting Komentar