“Permisi, Pak. Saya mau nawarin buku,
siapa tau bapak mau beli", ujar seorang perempuan kepada saya sambil mengeluarkan beberapa
buku dari dalam tasnya.
Dia kelihatan lelah dan keringatan,
mungkin karena berjalan kaki menjinjing sebuah tas berukuran besar sepanjang
hari.
Begitu melihat wajah perempuan itu,
ingatan saya tiba-tiba langsung flash back ke
suatu kejadian beberapa tahun yang lalu saat saya masih bekerja di restoran.
"Coba kamu cicipi sendiri, enak gak
makanan yang kamu kasih ke saya ini???", bentak seorang perempuan ke saya.
Perempuan itu adalah karyawan bank yang
sedang bertemu costumers-nya
di restoran tempat saya bekerja. Dia sudah sering datang ke sini dan selalu ada
saja aksinya yang bikin kami karyawan restoran mendadak menyesal dilahirkan ke
dunia.
Saya dibentak habis-habisan di depan
costumers-nya, sekedar ingin menunjukkan dominasinya. Pakai acara nunjuk-nunjuk
hidung segala lagi.
Lagian, makanannya gak enak kok jadi
salah saya? Wong bukan
saya yang masak, saya hanya mengantarkan saja.
Trus, disuruh nyicipin pula. Gila apa ya
saya disuruh makan bekas dia. Nehi-lah yawwwww!
Jelek-jelek begini, gengsi dan harga diri saya selangit. Tolong dicatat ya!
Satu lagi, dia dan para costumers-nya
memesan menu yang sama, dimasak dengan kuali dan bumbu yang sama, tapi hanya
dia sendiri yang komplain. Saya mencium aroma konspirasi Amerika dan Yahudi di
sini.
"Kamu kalau kerja yang becus ya. Saya
laporin kamu ke atasan kamu nanti. Sana pergi!", teriaknya lagi.
"Harus digitu'in supaya gak
ngelunjak", masih
saya dengar dia memberi tips & trick bagaimana cara menjadi sosok yang bitchy ke
teman-temannya.
Seandainya ini cerita silat, mungkin
saya akan segera berbalik seraya mengibaskan rambut dengan gerak slow motion dan
balas berteriak, "Tutup mulutmu,
Lasmini perempuan laknat. Cabut pedangmu, kita selesaikan persoalan ini secara
kesatria".
Tapi berhubung ini bukan cerita silat,
saya hanya terus berjalan sambil menahan sakit. Beneran lho, sakitnya tuh di
sini... **sambil nunjuk betis**
"Katanya bapak manajer di sini
ya?". Pertanyaannya
membuyarkan kilas balik ingatan saya dari masa lalu.
"Ah, bukan. Saya hanya membantu
mengelola saja", jawab
saya sambil tersipu-sipu.
"Ngomong-ngomong, mbak dulu pernah
kerja di bank?". Saya
tidak tahan untuk bertanya karena dapat salam dari Rhoma Irama: "Sumpah mati aku
jadi penasaran".
"Iya, Pak. Tapi sudah keluar".
"Mbak namanya Mawar Melati Mewangi
Sepanjang Hari Yang Suram?". Anggap saja namanya seperti itu, karena untuk kepentingan privacy harus
disamarkan.
"Lho, kok bapak tau?". Dia terlihat surprised.
Seandainya ini cerita silat, saya akan
menjawab, "Kamu
sudah lupa padaku, wahai kau perempuan Jahiliyah?. Akulah lelaki manis yang
dulu kau perlakukan dengan sangat buruk"
Tapi berhubung ini bukan cerita silat,
saya hanya tersenyum. Dan mungkin karena sudah lelah menawarkan buku
kemana-mana, dia tampak tak punya energi tersisa untuk penasaran kenapa saya
tau namanya.
Ini saat yang tepat untuk balas dendam. Huahahahaha,
huahahahaha!!! Sekarang saatnya. Huahahahaha!
Tetapi kalimat pertama yang keluar dari
bibir saya justru, "Buku yang ini
berapa? Saya mau beli", sambil mengambil beberapa buku.
Dia langsung sumringah, mungkin saya
adalah pembeli pertama buku-bukunya setelah ngider kota sepanjang hari.
Ya, saat saya memiliki kesempatan yang
baik untuk balas dendam, saya justru memilih untuk memaafkannya saja tanpa
harus dia sadari. Dan saya juga menghalau niat untuk mengungkit kembali masa
lalu karena saya tau itu hanya akan membuatnya tidak nyaman. Ya, saya memang
orangnya gitu. Makanya banyak yang diam-diam jatuh cinta sama saya tapi tak
berani mengungkapkannya.
0 komentar:
Posting Komentar