Memang tidak semuanya, tapi
beberapa Youtuber atau vlogger asal Indonesia beberapa waktu terakhir ini
seperti kehilangan kewarasannya.
Well, mungkin pandemi Covid 19
bukan hanya membahayakan nyawa, tetapi juga pikiran. Jika virus ini tidak
membuatmu mati, maka dia akan membuatmu kehilangan pikiran. What doesn’t kill
you, makes you losing your sanity.
Masih segar diingatakan salah satu
Youtuber yang katanya terkenal dengan entengnya syuting untuk konten di saat
orang-orang lagi ketakutan setengah mati takut tertular virus Corona. Syutingnya
di pemukiman warga yang notabene situasi lagi mencekam, saat orang-orang lebih
memilih mendekam di dalam rumah dari berkeliaran kayak kuman.
Alhasil ditegur warga. Yang ditegur
ngeyel dengan alasan sudah dapat izin. Izin untuk mati konyol mungkin
maksudnya. Trus, kasus ini dijadiin konten. Duhhhh, cari makan kok gini amat.
Dia juga kan yang dulu pamit dari Youtube, tapi balik lagi. Mungkin baru sadar
dapur rumah nggak ngebul dengan sendirinya.
Yang juga viral, Youtuber jenis kelamin pejantan yang jadi korban trend yang penting viral. Ngasih sembako ke orang yang membutuhkan.
Inspirasinya sih bagus, pengen ikut ngasih sesuatu kayak orang-orang, tetapi
niatnya nggak bener. Berlagak ngasih bantuan yang dibungkus rapi dalam kotak
kardus yang ternyata isinya sampah, dikasih ke kaum yang oleh masyarakat dianggap
kaum marginal.
Mungkin memilih korban dengan modus jika menjadi kasus maka masyarakat akan
membenarkan dan membela kelakuan dia.
Dan semua itu didokumentasikan dalam
video dan di- upload ke Youtube. Lagi-lagi demi konten. Duhhhh, cari makan kok gini amat ya?
Hasilnya? Masuk penjara!
Berikutnya!!! Seorang yang
ngakunya beauty vlogger (yang jadi ketahuan nggak beautiful inside, neither outside) diwawancara
oleh Youtuber yang juga kayaknya type “duhhhh, cari makan gini amat”.
Dengan
songongnya ngaku nggak mau pake masker karena bikin susah nafas dan hal-hal
lain yang intinya menyepelekan penyebaran virus yang sesungguhnya sudah memakan
korban puluhan ribu jiwa manusia.
Lha, perkara pakai masker di tengah pandemi
Covid 19 kan bukan perkara bernafas, monyong! Tapi agar sekiranya ada virus
bersemayam di mulut dan rahang loe, tuh virus tetap setia bermukim di situ dan
gak piknik kemana-mana.
Sayangnya, hal-hal konyol seperti
ini yang gampang viral dari Indonesia. Kadang bikin malu dan was-was juga sih.
Khawatir orang-orang dari negara lain mikir dari sekian miliar penduduk Indonesia, yang
mencuat ke permukaan hanya orang yang model begini? Jadi kayak semacam
representasi gitu, walaupun sebenarnya nggak mutlak begitu.
Dan hal-hal kayak gini juga
sangat susah untuk dibendung karena masalah taste atau selera. Karena selera memang tidak bisa diubah,
hanya bisa di-upgrade.
Yang bikin sedih, there are people with low taste in
large number in Indonesia. Sedih juga sih menerima kenyataan ini. Makanya Youtuber-youtuber sejenis Ria Which Is atau
Atta Petir bisa punya jutaan followers. If you ever watched their Youtube
contents, you’ll know what I mean. Kalau kita satu frekwensi lho ya...
Sementara Youtuber-youtuber
dengan konten yang punya esensi dan substansi malah followers-nya nggak sampai jutaan.
Nggak perlu sebut nama ya karena nanti tersinggung, dikira saya pandang sebelah mata.
Sebenarnya yang pengen saya
sampaikan di sini adalah, kamu bebas membuat konten apa pun. Tetapi mbok ya
bikin konten yang positif, yang ada nilainya, bukan sekedar konyol nggak jelas.
Saya pikir ketika kamu punya followers atau subscribers segudang, itu artinya kamu
punya corong atau panggung untuk menyampaikan sesuatu for a better life and
world.
Saya juga berpikir bahwa kita kan
nggak sekedar hidup hari ini, terus mati tahun depan. Saya sangat terkesan dengan
sebuah kalimat yang mengatakan “Learn like you’ll live forever, do something
good like you’ll die tomorrow”.
Sebenarnya kalimat persisnya nggak seperti itu,
tetapi kira-kira seperti itulah pesan yang ingin disampaikan. Buat saya,
penting banget sebelum melakukan atau mengatakan sesuatu berpikir ribuan kali
dan bertanya ke diri sendiri: perlu nggak?, efeknya apa?
Makanya saya kadang miris melihat
mereka yang hanya mengejar viral, viewer, subscriber atau hal-hal lain yang
sifatnya kuantitas, tetapi mengesampingkan esensi. Kayak masuk ke kandang
bebek, lalu ribuan bebek serentak merubungi menganggap kamu datang bawa
makanan, padahal yang kamu bawa adalah petasan yang bisa membunuh mereka.
Mereka berpikir nggak kalau
hal-hal bodoh yang mereka sengaja lakukan demi konten dan viral masih akan jadi
sesuatu yang bisa mereka banggakan tiga atau empat tahun lagi? Atau akan
menjadi sesuatu yang mereka sesali karena kelak akan menjadi semacam aib buat keluarga dari generasi
ke generasi?
Resiko Youtuber yang nggak punya
profesi di luar Youtube memang begitu ya. Seperti yang menjadi jargon tulisan
ini: “Cari makan kok gitu amat”. Ya kalau nggak gitu, ya nggak makan. Coba saja
bandingkan dengan Youtuber lain yang punya profesi lain di luar dunia Youtube,
konten mereka jelas lebih punya value. Karena mereka nggak cari makan dari
konten Youtube.
OK, mungkin mereka dapat uang
dari adsens atau sistem monetisasi, tetapi meskipun nggak dapat karena persyaratan
kuantitas, mereka fine-fine saja. Wong mereka masih ada pendapatan dari profesi
atau pekerjaan lain mereka, jadi nggak harus melacurkan diri membuat konten
demi people with low taste in large
number.
Iri bilang, boss!!!!
0 komentar:
Posting Komentar