14/06/20

INFLUENCER Atau Influenza

Memang tidak semuanya, tapi beberapa Youtuber atau vlogger asal Indonesia beberapa waktu terakhir ini seperti kehilangan kewarasannya.

Well, mungkin pandemi Covid 19 bukan hanya membahayakan nyawa, tetapi juga pikiran. Jika virus ini tidak membuatmu mati, maka dia akan membuatmu kehilangan pikiran. What doesn’t kill you, makes you losing your sanity.

Masih segar diingatakan salah satu Youtuber yang katanya terkenal dengan entengnya syuting untuk konten di saat orang-orang lagi ketakutan setengah mati takut tertular virus Corona. Syutingnya di pemukiman warga yang notabene situasi lagi mencekam, saat orang-orang lebih memilih mendekam di dalam rumah dari berkeliaran kayak kuman.

Alhasil ditegur warga. Yang ditegur ngeyel dengan alasan sudah dapat izin. Izin untuk mati konyol mungkin maksudnya. Trus, kasus ini dijadiin konten. Duhhhh, cari makan kok gini amat. Dia juga kan yang dulu pamit dari Youtube, tapi balik lagi. Mungkin baru sadar dapur rumah nggak ngebul dengan sendirinya.

Yang juga viral, Youtuber jenis kelamin pejantan yang jadi korban trend yang penting viral. Ngasih sembako ke orang yang membutuhkan. Inspirasinya sih bagus, pengen ikut ngasih sesuatu kayak orang-orang, tetapi niatnya nggak bener. Berlagak ngasih bantuan yang dibungkus rapi dalam kotak kardus yang ternyata isinya sampah, dikasih ke kaum yang oleh masyarakat dianggap kaum marginal.
Mungkin memilih korban dengan modus jika menjadi kasus maka masyarakat akan membenarkan dan membela kelakuan dia. 
Dan semua itu didokumentasikan dalam video dan di-upload ke Youtube. Lagi-lagi demi konten. Duhhhh, cari makan kok gini amat ya?
Hasilnya? Masuk penjara!

Berikutnya!!! Seorang yang ngakunya beauty vlogger (yang jadi ketahuan nggak beautiful inside, neither outside) diwawancara oleh Youtuber yang juga kayaknya type “duhhhh, cari makan gini amat”.
Dengan songongnya ngaku nggak mau pake masker karena bikin susah nafas dan hal-hal lain yang intinya menyepelekan penyebaran virus yang sesungguhnya sudah memakan korban puluhan ribu jiwa manusia. 
Lha, perkara pakai masker di tengah pandemi Covid 19 kan bukan perkara bernafas, monyong! Tapi agar sekiranya ada virus bersemayam di mulut dan rahang loe, tuh virus tetap setia bermukim di situ dan gak piknik kemana-mana.

Sayangnya, hal-hal konyol seperti ini yang gampang viral dari Indonesia. Kadang bikin malu dan was-was juga sih. Khawatir orang-orang dari negara lain mikir dari sekian miliar penduduk Indonesia, yang mencuat ke permukaan hanya orang yang model begini? Jadi kayak semacam representasi gitu, walaupun sebenarnya nggak mutlak begitu.

Dan hal-hal kayak gini juga sangat susah untuk dibendung karena masalah taste atau selera. Karena selera memang tidak bisa diubah, hanya bisa di-upgrade

Yang bikin sedih, there are people with low taste in large number in Indonesia. Sedih juga sih menerima kenyataan ini. Makanya Youtuber-youtuber sejenis Ria Which Is atau Atta Petir bisa punya jutaan followers. If you ever watched their Youtube contents, you’ll know what I mean. Kalau kita satu frekwensi lho ya...

Sementara Youtuber-youtuber dengan konten yang punya esensi dan substansi malah followers-nya nggak sampai jutaan. Nggak perlu sebut nama ya karena nanti tersinggung, dikira saya pandang sebelah mata.

Sebenarnya yang pengen saya sampaikan di sini adalah, kamu bebas membuat konten apa pun. Tetapi mbok ya bikin konten yang positif, yang ada nilainya, bukan sekedar konyol nggak jelas. 
Saya pikir ketika kamu punya followers atau subscribers segudang, itu artinya kamu punya corong atau panggung untuk menyampaikan sesuatu for a better life and world.

Saya juga berpikir bahwa kita kan nggak sekedar hidup hari ini, terus mati tahun depan. Saya sangat terkesan dengan sebuah kalimat yang mengatakan “Learn like you’ll live forever, do something good like you’ll die tomorrow”. 
Sebenarnya kalimat persisnya nggak seperti itu, tetapi kira-kira seperti itulah pesan yang ingin disampaikan. Buat saya, penting banget sebelum melakukan atau mengatakan sesuatu berpikir ribuan kali dan bertanya ke diri sendiri: perlu nggak?, efeknya apa?

Makanya saya kadang miris melihat mereka yang hanya mengejar viral, viewer, subscriber atau hal-hal lain yang sifatnya kuantitas, tetapi mengesampingkan esensi. Kayak masuk ke kandang bebek, lalu ribuan bebek serentak merubungi menganggap kamu datang bawa makanan, padahal yang kamu bawa adalah petasan yang bisa membunuh mereka.

Mereka berpikir nggak kalau hal-hal bodoh yang mereka sengaja lakukan demi konten dan viral masih akan jadi sesuatu yang bisa mereka banggakan tiga atau empat tahun lagi? Atau akan menjadi sesuatu yang mereka sesali karena kelak akan menjadi semacam aib buat keluarga dari generasi ke generasi?

Resiko Youtuber yang nggak punya profesi di luar Youtube memang begitu ya. Seperti yang menjadi jargon tulisan ini: “Cari makan kok gitu amat”. Ya kalau nggak gitu, ya nggak makan. Coba saja bandingkan dengan Youtuber lain yang punya profesi lain di luar dunia Youtube, konten mereka jelas lebih punya value. Karena mereka nggak cari makan dari konten Youtube.
OK, mungkin mereka dapat uang dari adsens atau sistem monetisasi, tetapi meskipun nggak dapat karena persyaratan kuantitas, mereka fine-fine saja. Wong mereka masih ada pendapatan dari profesi atau pekerjaan lain mereka, jadi nggak harus melacurkan diri membuat konten demi people with low taste in large number.

Iri bilang, boss!!!!

Share:

0 komentar:

Posting Komentar