04/07/20

Bajunya KETAT Sih!

Kalau anda aktif di media sosial seperti Twitter atau Instagram, dan anda follow akun portal berita online, pasti anda sudah biasa membaca berita tentang pelecehan seksual seperti pemerkosaan,  pencabulan, juga kasus yang akhir-akhir ini sering terjadi: begal organ tubuh perempuan. 

Begal di sini maksudnya bukan diambil paksa, lalu dibawah kabur. Tetapi meraba atau merogoh, lalu kabur.

Selain berita dengan tema tersebut cukup menggelitik rasa ingin tau, namun yang tak kalah menarik adalah reaksi para netizen atas berita tersebut yang disampaikan lewat kicauan.
Tak sedikit dari kicauan tersebut yang justru menyalahkan korban yang pada umumnya adalah perempuan.

“Bajunya ketat sih”, “Pakaiannya terbuka sih”, “Pulangnya malam-malam sih”, “Jalannya sendirian sih”, dan seribu satu bentuk penghakiman dan pembenaran lainnya.

Kenapa sebagian besar orang berpikiran bahwa perempuan yang harus menjaga dirinya? Kenapa sebagian besar orang berpikiran bahwa laki-laki wajar jika ‘mengganggu’ perempuan?

Saya masih ingat kejadian waktu kelas 1 SMP. Teman sekelas saya (cowok) yang mungkin pubernya terlalu dini, tidak bisa menahan hasratnya, sehingga iseng mencium pipi salah satu siswi (sekelas dengan saya juga). Si cewek pun menangis tersedu-sedu.
Sayangnya beberapa orang (termasuk guru-guru) malah memaklumi dengan kalimat, “Sudahlah, gak perlu nangis. Anak cowok biasa begitu”.
Bahkan ada yang malah memuji si cowok. “Itu baru jantan”.

Waktu SMA, salah satu teman sekelas saya (Ya ampun, seolah dari dulu saya sekelas dengan cowok brengsek terus ya!?) iseng meraba bokong siswi kelas sebelah di depan umum. 
Yang anak cowok bersorak sambil tersenyum, tapi gak termasuk saya ya. Yang cewek bisik-bisik maklum.
“Pantatnya semok banget sih, ya wajar cowok-cowok pengen pegang”.

Waktu SMA, saya termasuk yang bisa menahan hasrat. Jadi gak peduli senaksir atau sesuka apa saya sama cewek kelas sebelah, saya bisa pura-pura cuek dan bertingkah seolah gak tertarik. Menyuitin cewek pun saya tidak pernah, apalagi nyuitin cowok. Gila, apa!?

Di rumah saya ada tiga perempuan: nyokap dan dua orang kakak. Jadi sejak kecil mama saya sudah mendidik saya untuk menghormati perempuan.
“Kamu jangan pernah menyakiti atau mengganggu perempuan karena kamu juga punya kakak perempuan. Jangan melakukan sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu”. Begitu kira-kira didikan yang ditanamkan Mama saya.

Kurang tau sih apakah didikan ini hanya ditanamkan ke saya atau juga ke semua abang-abang saya. Yang jelas saya juga gak pernah melihat abang-abang saya menyuitin atau cat-calling perempuan. Pas saya lihat, enggak. Tetapi pas saya nggak lihat, mungkin mereka kukuruyuk-kukuruyuk. Who knows!?

Dan didikan ini bukan berarti tidak punya efek samping. Jadi teman-teman sekolah saya dulu sering  ngeledekin, 
“Ih, kamu kok gak pernah  nyuitin cewek. Kamu gak suka cewek ya?”, atau “Jangan-jangan kamu gak jantan nih?”. 
Toh tuduhan itu tidak berarti, karena mereka juga tidak pernah melihat saya menyuitin cowok, kambing atau monyet.

Lama-lama mereka mengerti bahwa saya beda dari cowok kebanyakan karena saya memang menghormati dan menghargai perempuan. Alhasil, teman-teman saya dulu rebutan nyomblangin saya ke adik atau kakak perempuannya.
“Adik/kakak saya pasti aman kalau sama kamu”, katanya sambil ngasih gorengan dan Cocacola sebagai ‘mas kawin’. Ya, mungkin mereka pikir saya semurahan itu.

Saya jadi berpikir bahwa pola pikir dan kelakuan yang mengganggap wajar laki-laki melecehkan perempuan terbentuk dari didikan dan pengalaman waktu kecil yang juga didukung oleh lingkungan sosial.
Kita terbiasa dipaksa menerima ‘budaya’ bahwa laki-laki harus ‘menganggu’ perempuan supaya sah disebut jantan. Bahwa perempuan harus begini dan begitu, tidak boleh begini dan begitu supaya tidak men-trigger laki-laki. Bahwa segala tindak-tanduk pelecehan yang dilakukan oleh laki-laki murni karena ada undangan sengaja/tak sengaja dari perempuan.

Perempuan tidak boleh jalan sendirian supaya tidak mau diganggu. Perempuan tidak boleh pulang malam-malam supaya tidak diganggu. Perempuan tidak boleh punya pinggul atau payudara gede supaya tidak diganggu. Perempuan tidak boleh terlalu cantik atau seksi supaya tidak diganggu. Jadi seolah semua pusat dari permasalah kasus pelecehan seksual ada pada diri perempuan. What a hell!

Padahal kalau mau dirunut di semua kasus pelecehan seksual, banyak korbannya yang justru tidak berada pada posisi yang saya sebutkan di atas. Ada korban perkosaan/pencabulan dengan korban di bawah umur atau keterbelakangan mental. Ada korban pelecehan yang justru terjadi di rumah pada siang bolong yang pelakunya justru adalah kerabat/keluarga sendiri.

Video CCTV yang terakhir saya lihat di sosial media justru memperlihatkan korban begal payudara adalah perempuan berhijab yang sedang berjalan berdua dengan perempuan lain yang juga berhijab.

Didikan yang salah sejak kecil sehingga telah mengakar dalam pikiran kita membuat kita seperti terjebak dalam paradigma bahwa dalam kasus pelecehan seksual, yang salah adalah perempuan. Jadi meskipun kita dijejeli dengan fakta bahwa perempuan yang menjadi korban tidak berada dalam situasi atau posisi yang terkesan ‘memancing’ hasrat laki-laki, kita tetap berpendirian untuk selalu mencari pembenaran atas perilaku laki-laki.

Padahal dengan edukasi sederhana saja, mungkin bisa membentuk pola pikir semua anak laki-laki untuk menghargai dan menghormati perempuan. Edukasi dalam bentuk penjelasan bahwa kita semua terlahir dari perempuan (atau ada yang dulu tumbuh dari ladang kol atau digotong-gotong bangau?), seharusnya kita punya naluri alamiah untuk menyayangi perempuan. 

Kita selama sembilan bulan pernah berada dalam tubuh perempuan, satu tubuh dan satu asupan kehidupan, seharusnya akan sangat gampang untuk menumbuhkan rasa hormat kepada perempuan.

Jika muncul hasrat untuk melakukan pelecehan verbal maupun fisik, coba bayangkan jika ibu atau saudara perempuan kita yang diperlakukan begitu.

Tetapi karena sejak kecil tidak pernah diberi didikan dan penjelasan mengenai perempuan, dan diperparah dengan lingkungan sosial yang memandang perempuan hanya sebagai objek…dapat salam dari Atiek CB: Ya sudah-sudahlah, Boy!

Jadi buat anda yang punya akses untuk mendidik anak kecil, anda punya chance untuk mengubah budaya yang selama ini dibenarkan untuk dikoreksi saat ini. Ajarlah anak laki-laki (dan juga anak perempuan)  untuk menghargai dan menghormati (sesama) anak perempuan apapun kondisi dan keadaannya: mau memakai pakaian seksi kek, pakai hijab kek, supaya kelak attitude ini bisa tumbuh seiring pertumbuhan mereka, sehingga ketika mereka memiliki hasrat dan pemikiran yang salah saat melihat perempuan, mereka sadar bahwa hasrat yang ada dalam pikiran mereka itu salah, bukan pada penampilan si perempuan. 
Sehingga sepuluh atau dua puluh tahun lagi kita bisa memiliki generasi yang lebih baik  dan beradab.

CODA:
Lalu bagaimana dengan kasus pelecehan dan perkosaan dari kronologi perempuan yang diajak kenalan oleh pria yang tidak dikenal, mau diajak jalan-jalan, dibawa ke tempat sepi, dicekoki minuman keras, lalu diperkosa? Maaf ya, kalau itu sih memang dasar perempuannya saja yang goblok. Dia punya kesempatan untuk menghindari kejadian buruk terjadi, tetapi dia tetap nekad menghampiri dan memberi peluang.

Pria banyak yang brengsek, tetapi bukan berarti perempuan boleh goblok. Take care, ladies...

            
Share:

0 komentar:

Posting Komentar