Sejak tahun 2019 saya punya kenalan seorang tunawisma yang setiap malam saya jumpai di SPBU. Awal perkenalannya karena dia minta 15 ribu atau 20 ribu. Untuk beli makan katanya. Sesekali bolehlah. Tetapi makin ke sini dia makin berani minta setiap hari. Dan saya yakin dia gak cuma minta ke saya saja, ke orang lain juga.
Seiring waktu berjalan, saya penasaran dong asal usul dia. Lagian saya juga sudah mulai bosan lihat dia ongkang-ongkang kaki merokok sambil minta uang dari orang-orang yang lewat. Dari logat bicaranya sepertinya bukan orang sini, tetapi kemungkinan dari Medan yang apa kali itu kalau apa-apanya terlalu diapakan biar apa pasti akan menjadi apa kali.
"Asalnya dari mana, Pak?"
"Helvetia, bos"
"Kenapa bisa nyasar ke Balige"
"Ribut sama orang rumah"
Weishhhhh, kalah ya drakor. Drama Korea aja kalau ribut, paling cuma diam-diaman sambil tetap payungan di bawah rintik hujan. Yang ini minggat lintas benua.
"Mau sampai kapan jadi gelandangan
kayak gini?"
"Jika takdir berkata demikian, apa
mau dikata?"
Jaka Sembung bawa monyet. Silahkan lanjutkan sendiri
kalimat lanjutannya dalam hati.
“Gak malu setiap hari minta-minta begini”
“Aku ada jantung, bos”
“Saya juga punya jantung”
“Maksudnya, aku punya penyakit jantung”
“Trus, sakit jantung gak boleh kerja?”
“Gak bisa capek aku, bos”
“Trus gimana? Gak kerja?”
“Ya gimanalah, bos”
Dari fisiknya saya lihat dia sehat-sehat saja sih. Posturnya tinggi besar, tetapi jalannya memang sedikit pincang.
"Orang rumah gak nyari'in?"
"Nyari'in"
"Trus kenapa gak pulang?"
"Gak ada ongkos, bos"
"Kalau saya ongkosin, bener mau pulang?"
"Serius, bos. Kalau ada ongkos, saya pasti sudah pulang"
Singkat cerita saya ongkosinlah dia pulang, ditambah
uang makan plus uang saku. Daripada menggelandang di usia yang sudah tak muda
lagi, mending pulang ke rumah. Ribut-ribut itu kan bagian dari riak dan
gelombang yang harus dilalui oleh biduk rumah tangga.
Lha, kenapa saya jadi kayak presenter acara gosip di TV yang membacakan narasi untuk membeberkan kisruh rumah tangga artis yang seperti kamar saya ya: gampang berantakan.
Hari ini saya ongkosin, nanti malam dia seharusnya berangkat pulang. Ehhh, besoknya saya masih ketemu dia: ongkang-ongkang kali sambil merokok. Saya ngamuk dong.
Saya labraklah dia...
"Ngapain masih di sini???". Saya ngomongnya sengaja berkacak
pinggang biar mirip piala, sekedar menunjukkan dominasi.
Dia pun gelagapan.
"Eh, oh...begini bos. Saya bisa
menjelaskan. Saya sudah pulang, tapi balik lagi"
“Kapan pulangnya? Kok bisa sudah ada di
sini lagi?”
“Begitu nyampe saya langsung balik lagi,
bos”
“Maksudnya? Lebih suka jadi pengemis?”
“Bukan begitu, bos. Maksudku begini...”
"Gak perlu. Pokoknya mulai detik
ini jangan pernah bicara apa-apa lagi sama saya".
Sebenarnya bahasanya tidak sesinetron itu sih, tetapi pesan yang disampaikan sedikit mirip persis seperti itu.
Sejak itu dia memang tidak pernah berani lagi bicara ke saya. Pernah sih dia nekad nyamperin saya, seperti biasa minta uang jajan. Berhubung saya sudah malas berurusan sama orang yang lebih suka dikasih ikan daripada perahu, saya gak gubris.
Trus, tadi malam pas saya mampir di SPBU seperti biasa, dia nampak lagi bahagia banget. Tertawa-tawa girang begitu. Dan saat melihat saya, dia langsung berpantun...
“Burung nuri burung dara”
Astagaaa, malam-malam gini membahas burung apa pantas?
“Percuma baik kalau hanya untuk sementara”. Dia melanjutkan
pantunnya. Yaelahhh, dia menyindir saya. Bedebah!
0 komentar:
Posting Komentar